Kasus pailit terhadap perusahaan properti beberapa kali terjadi akhir-akhir ini. Hal ini jelas sangat merugikan bagi konsumen pembeli rumah karena asetnya bisa hilang. Untuk itu, konsumen harus cermat sebelum membeli properti agar tidak terjebak dalam proyek yang dipailitkan.
Pandemi Covid-19 ternyata tidak hanya memakan korban individu manusia, tetapi beberapa perusahaan pengembang (properti) turut merasakan dampaknya yang harus berujung pailit alias bangkrut.
Pailit merupakan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadaan yang berwenang.
Kasus-kasus kepailitan perusahaan properti ke depan mungkin saja akan terus berlanjut dan hal ini mengundang keprihatinan Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo. Sebab dalam setiap kasus pailit tersebut akan merugikan berbagai pihak, terutama konsumen dan developer itu sendiri.
“Sudah menjadi rahasia umum jika “proyek” pailit ini sering ada mafianya, bahkan tidak jarang ada pemodalnya, dan memang di-setting dari awal. Ujung-ujungnya yang paling dirugikan selalu adalah konsumen jika terjadi kasus pailit,” kata Erwin dalam acara Exclusive Interview bertema “Pailit di Industri Properti, Siapa Untung Siapa Rugi”, yang disiarkan secara live di CNBC Indonesia, Jumat, 18 September 2020.
Menurut Erwin, dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Konsumen dikategorikan sebagai Kreditur Konkuren dimana Kreditur Konkuren tidak mempunyai hak untuk menguasai jaminan berupa benda sehingga penyelesaian hutang terhadap Kreditur Konkuren dilakukan setelah kewajiban terhadap kreditur lain diberikan, sedangkan Kreditur Preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa.
Erwin Kallo pun mengatakan banyak mafia dan sindikat pailit dalam proyek properti. Menurutnya, salah satu modus yang terjadi adalah developer properti mempailitkan perusahaannya sendiri. Developer tersebut telah berhasil menjual hampir seluruh unit apartemen yang akan dibangun. Namun setelah terjual proyek tersebut mandeg kemudian muncul gugatan pailit.
Oleh karena itu, Erwin mengusulkan, agar dalam resivi UU Kepailitan status konsumen dinaikkan dari Kreditur Konkuren menjadi Kreditur Preferen. Karena selama ini mungkin pertimbangannya kontraktor yang bangun, sehingga uangnya dari kontraktor dan wajar didahulukan pembayarannya ketika terjadi pailit.
Erwin Kallo pun memberikan solusi jitu guna menghindari pailit. Yang Pertama, dalam PPJB antara Developer dan Konsumen dapat dimasukkan klausula ”Para Pihak dengan itikad baik tidak saling mempailitkan, baik mempailitkan diri sendiri maupun mempailitkan pihak yang terdapat dalam perjanjian ini”. Dengan adanya klausula tersebut, Konsumen tidak dirugikan akibat dari pailit sebuah perusahaan developer. Yang Kedua, dalam hal adanya Kepailitan yang didaftarkan melalui Pengadilan Niaga, ada baiknya Majelis Hakim Pengadilan Niaga melakukan ’Dismissal Proses’ atau ’Pemeriksaan Persiapan’ seperti halnya terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara. ’Dismissal Proses’ atau ’Pemeriksaan Persiapan’ merupakan kewenangan Ketua Pengadilan untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, bila perkara itu disidangkan, akan membuang-buang waktu, tenaga dan biaya.
Kedua solusi jitu tersebut merupakan cara guna mencegah ataupun menghindari suatu perkara Kepailitan yang nantinya akan berdampak rugi terhadap konsumen maupun pihak bank dan juga merupakan perlindungan hukum bagi konsumen dan pihak bank.