Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah kumuh di Jakarta mencapai 181.256 unit, dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit yang tersebar di 279 RW kumuh (Bisnis Indonesia, Pergeseran ke Vertikal Jadi Solusi, 26 Februari 2019). Banyaknya lokasi kumuh tersebut, tentunya mempengaruhi kualitas hidup warga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh. Wajah kota pun ikut tercemar dengan adanya kawasan kumuh dibalik megahnya gedung-gedung tinggi.
Untuk mengurangi wilayah dan rumah kumuh tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melaksanakan berbagai pembangunan rumah susun di sejumlah daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan rumah susun inilah kerap kali terjadi hambatan oleh masyarakat, yaitu berbentuk penolakan, kerusuhan, dan sebagainya terkait dengan penggusuran ataupun relokasi masyarakat yang tinggal di lokasi yang kumuh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “gusur” mengandung arti : menjadikan (membuat, menyuruh) pindah tempat; menggeser tempat. Sedangkan “relokasi” berarti pemindahan tempat. Dari kedua arti tersebut, “gusur” terkesan lebih kasar dibandingkan dengan “relokasi”. Dr. Nugroho, SBM, M.Si (Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang), mengartikan penggusuran adalah ketika rumah warga dirobohkan dan warga diusir dari tempat itu tapi tak diberi tempat lagi. Sementara relokasi menurutnya adalah adalah merobohkan rumah tetapi warga disediakan tempat yang lebih layak.
Mantan Plt. Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarsono, mengatakan bahwa ada perbedaan besar antara istilah relokasi dan penggusuran. Menurutnya, relokasi merupakan kebijakan penataan kota di mana pemerintah telah menyediakan tempat tinggal yang layak serta rencana berkelanjutan untuk hidup bagi warga. Sementara penggusuran menurutnya merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa perencanaan sama sekali (Kompas.com, Sumarsono : Relokasi Tak Sama Dengan Penggusuran, 6 Januari 2017).
Oleh karena itu, untuk mencegah dan menghadapi hambatan/penolakan dari masyarakat yang tinggal di lokasi yang kumuh, maka diperlukan sosialisasi dan konsultasi publik, serta pengertian yang mendalam akan arti relokasi dan membedakannya dengan penggusuran. Perlu diberikan pengetahuan bahwa masyarakat tidak kehilangan asetnya, karena unit hunian di lokasi yang baru nanti berstatus hak milik mereka. Selain itu, kawasan hunian yang baru (biasanya dalam bentuk rusunami) akan dilengkapi fasilitas umum dan sosial yang lengkap seperti kesehatan, pendidikan, rumah ibadah dan ruang terbuka hijau.
Terlebih lagi, dengan tidak adanya perpindahan lokasi, mata pencaharian warga tidak akan hilang, justru dapat berkembang. Dengan demikian, warga dapat tetap bekerja dan berdagang seperti biasa, bahkan untuk lokasinya pun dapat disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh : Rizal Bakri, S.H.
Erwin Kallo & co – Property Lawyers