Erwinkallonews.com, JAKARTA – Asosiasi Real Estat Broker Indonesia meminta pemerintah menggandeng pelaku usaha untuk menyajikan data transaksi penjualan properti di pasar primer dan sekunder secara transparan.
Hartono Sarwono, Presiden Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (AREBI), mengatakan transparansi penjualan produk properti di dalam negeri dapat dimanfaatkanmasyarakat sebagai panduan sebelum melakukan transaksi.
Data penjualan properti yang transparan juga mencegah permainan harga yang dilakukan oleh pengembang, marketing, maupun broker.
“Data penjualan itu harus menyajikan siapa penjual dan pembelinya, tahun berapa transaksi itu dilakukan, serta siapa yang menjadi notarisnya. Data itu akan membuat taksiran harga properti di dalam negeri lebih adil bagi konsumen,” katanya kepada Bisnis, Kamis (15/6).
Hartono menuturkan saat ini masyarakat hanya bisamendapatkan data penjualan properti di pasar primer dan sekunder yang akurat dari Badan Pertanahan Nasional, notaris, serta catatan pajak. Hanya saja ketiga lembaga itu belum mencatat properti yang masih menggunakan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sebagai transaksi.
Menurutnya, Singapura menjadi salah satu negara yang memiliki keterbukaan data penjualan properti. Masyarakat di negara itu dapat dengan mudah menelusuri sejarah dan latar belakang transaksi dari produk properti yang diinginkannya.
“Data yang ada di dalam data penjualan akan menggambarkan nilai pajak sesungguhnya sehingga harga properti tidak dapat diselewengkan,” ujarnya.
Sementara itu, Ike Hamdan, Head of Marketing rumah.com, mengatakan kerja sama antara pemerintah dengan pelaku usaha juga harus dilakukan untuk menyusun indeks harga properti di pasar primer dan sekunder.
Penyusunan indeks harga properti itu diperlukan agar konsumen memiliki acuan untuk mengetahui harga properti di suatu wilayah.
“Data yang lengkap dari pasar primer dan sekunder juga dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat di sektor properti,” katanya.
Dia menyebut indeks harga properti yang disusun Bank Indonesia hanya memuat rumah-rumah di pasar primer. Padahal, saat ini banyak masyarakat yang memilih untuk mendapatkan properti dari pasar sekunder.
Tidak transparannya indeks harga properti di pasar sekunder juga memunculkan spekulan yang inginmengambil keuntungan dari selisih harga yang dipatok di atas pasar.
Selain itu, Bank Indonesia juga hanya mengukur harga properti yang dikembangkan oleh perusahaan terbuka atau emiten. Hal itu membuat indeks harga properti tersebut belummenggambarkan pergerakan pasar secara riil.
“Paling hanya sekitar 40 pengembang yang tercatat di BEI . Padahal, banyak pengembang di luar yang mampu memberikan kontribusi cukup besar di sektor riil,” ucapnya.
Menurutnya, platform dalam jaringan yang dimanfaatkan untuk jual beli rumah juga dapat mengumpulkan data di pasar sekunder. Data tersebut bahkan mampu menjabarkan asking price dari pengembang dan penjual perorangan.
Sebelumnya, Yongki Tanuwidjaya, Principal of Century 21 Prestige, mengatakan masyarakat saat ini memiliki kecenderungan untuk membeli hunian bekas dibandingkan dengan produk baru meski harganya tidak jauh berbeda. Bahkan saat ini penjualan hunian vertikal mendominasi transaksi properti di pasar sekunder.
Melalui pasar sekunder, pembeli juga dapat melakukan cicilan bertahap secara langsung kepada penjualnya.
Bisnis.com