Erwinkallonews.com – Eigendom Verponding sebenarnya tidak terdapat dalam literatur hukum agraria. yang ada hanyalah istilah Eigendom, sementara verponding berarti pajak atas harta tetap, namun istilah di masyarakat sering disebutkan hak Eigendom dengan istilah Eigendom Verponding.
Lalu bagaimana mengurus ganti rugi atas tanah Eigendom Verponding yang banyak dikuasi oleh berbagai pihak?
Saat ini masih banyak tanah-tanah yang memiliki alas hak berupa Eigendom Verponding. Apa itu Eigendom Verponding? Dalam hukum pertanahan Indonesia dapat diartikan bahwa Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak Barat. Tapi sebenarnya Eigendom Verponding itu diterbitkan pada zaman Belanda untuk orang Warga Negara Indonesia. Jadi tidak mutlak juga pengertiannya jika disebutkan bahwa Eigendom Verponding adalah hak tanah Barat.
Secara harfiah diartikan bahwa Eigendom adalah hak milik tetap atas tanah dan Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau tanah dan bangunan dimaksud. Saat ini verponding tersebut berupah menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB). Sedangkan eigendom diharuskan dikonversi menjadi jenis hak atas tanah seperti di atur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Konversi
Sebelum berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) Proses konversi hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat (termasuk Eigendom) dapat langsung dilakukan konversinya sepanjang:
- Pemohonnya masih tetap sebagai pemegang hak atas tanah dalam bukti-bukti lama tersebut atau belum beralih ke atas nama orang lain.
- Ada peta/surat ukurnya
Maka pembukuannya cukup dilakukan dengan memberi tanda cap/stampel pada alat bukti tersebut dengan menuliskan jenis hak dan nomor hak yang dikonversi.
- Setelah berlakunya PP 24/1997, pelaksanaan konversi hak atas tanah tersebut oleh PP 24/1997 disebut dengan istilah pembuktian hak lama. Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 mengatur bahwa:
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan:
Alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang diakui kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Konversi hak dari Eigendom tidak selalu menjadi hak milik, karena pengkoversian harus memperhatikan persyaratan pemberian suatu hak yang diatur dalam UUPA.
Sebenarnya konversi harus dilakukan setelah UUPA diundangkan, atau paling lama dua puluh tahun setelahnya, namun karena ketidaktahuan masyarakat atau ketidakmampuan mengurus konversi hak Eigendom menjadi sertifikat sampai saat ini masih banyak tanah-tanah yang masih melekat hak berupa Eigendom Verponding.
Sampai saat inipun pemerintah melalui Kantor Pertanahan masih melayani konversi dari Eigendom Verponding menjadi sertifikat asalkan syarat konversi seperti diatur dalam undang-undang terpenuhi.
Ketentuan konversi tersebut berlaku selama pemilik hak Eigendom atas tanah tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPA. Namun, tidak semua hak Eigendom atas tanah selalu dapat dikonversikan menjadi hak milik. Terdapat ketentuan-ketentuan lain yang mengatur konversi hak Eigendom atas tanah menjadi hak pakai, hak guna bangunan, maupun hak guna usaha. Untuk itu, dilihat Pasal I, II, III, IV dari UUPA.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUPA, dapat diketahui bahwa salah satu terjadinya hak milik adalah karena undang-undang. Sehingga, ketentuan konversi dalam UUPA, yang menentukan bahwa hak Eigendom atas tanah sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik merupakan salah satu dasar terjadinya hak milik.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa Pasal 23 UUPA memberikan suatu pengertian bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya, dan pembebanannya harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena berdasarkan UUPA hak Eigendom atas tanah secara hukum menjadi hak milik, maka dapat disimpulkan bahwa hak Eigendom atas tanah tersebut pada dasarnya tunduk pada pengaturan dalam Pasal 23 UUPA, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran hak milik.
Adapun pendaftaran tersebut ditujukan untuk memberikan suatu kepastian hukum, yang meliputi:
- pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah,
- pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, dan
- pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagai pembuktian yang kuat.
Secara prinsip, pendaftaran tersebut sangat diperlukan. Karena, hak Eigendom atas tanah tersebut berasal dari sistem hukum yang masih menggunakan hukum perdata barat, serta hukum agraria yang pada saat itu disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan (konsiderans dari UUPA). Sedangkan, UUPA ditujukan sebagai hukum agraria nasional, yang berbeda dengan sistem hukum perdata barat atau hukum agraria yang berlaku sebelum adanya UUPA.
Sehingga, demi kepastian hukum dan perlindungan hukum, tentunya hak Eigendom atas tanah perlu untuk didaftarkan. Pengaturan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama diatur lebih lanjut dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”).
Berdasarkan ketentuan dalam PP No. 24/1997, data fisik dan data yuridis dari tanah yang didaftarkan wajib untuk diumumkan sebelum penerbitan sertifikat. Adapun, dalam jangka waktu pengumuman tersebut, setiap orang diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kadaluwarsanya suatu penuntutan atas penerbitan suatu sertifikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP No. 24/1997. Sehingga, pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tidak dapat lagi mengajukan suatu penuntutan.
Sumber: Mediatataruang.com