Erwinkallonews – Perdebatan tentang rumah susun di Indonesia seringkali kebablasan. Kita berdebat tanpa memahami apa yang sebenarnya kita perdebatkan.
Idealnya, kita harus sepakat dulu, makh-luk apa itu rumah susun? Apa definisi rumah susun? Bagaimana membedakan suatu bangunan itu rumah susun atau bukan rumah susun? Setelah itu, baru kita bisa menjawab masalah-masalah lain, misalnya kapan dan bagaimana PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun) itu terbentuk?
Dalam Undang-Undang No. 20/2011 tentang Rumah Susun, Pasal 1, ayat 1, sudah sangat terang benderang disebut-kan, bahwa yang dimaksud dengan Rumah Susun itu adalah “Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama”.
Jadi kapan suatu bangunan itu disebut rumah susun? Ya setelah terbagi dalam bagian-bagian dan merupakan satuan-satuan (unit-unit) yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, sesuai yang dimaksud undang-undang tersebut. Pertanyaannya kemudian kapan satuan-satuan itu dapat terpisah? Tentunya setelah ada pertelaan.
Dari definisi itu pula, kita dapat mengetahui bahwa setelah meng-hitung satu tahun serah terima itu adalah serah terima yuridis, bukan fisik. Serah terima yuridis itu terhitung dari setelah AJB (Akte Jual Beli) ditandatangani, dimana pertelaannya sudah dipecah dan sudah memiliki sertifikat. Dalam Hukum Agraria, jual beli itu harus tunai dan tuntas.
Peralihan hak (kepemilikan) itu terjadi pada saat AJB, karena syarat sah perjanjian itu harus ada obyek, sedangkan pada fase PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) itu obyeknya belum ada. Berarti statusnya pembeli unit belum pemilik, baru calon pemilik.
Sebaiknya kita juga tahu realitas industri properti (rumah susun), yang kenyataannya, pertelaan itu dibuat setelah bangunannya jadi. Dan salah satu syarat untuk membuat pertelaan, bangunan tersebut harus memiliki SLF (Sertifikat Laik Fungsi). Dimana semua peralatan bangunan tersebut, terutama yang menyangkut keamanan harus dipastikan dapat beroperasi dengan baik. Jadi dalam prakteknya pertelaan itu dibuat setelah bangunan jadi, sehingga serah terima fisik (unit) pasti lebih dahulu daripada pertelaan.
Mengapa saya setuju dengan serah terima yuridis, sebab kalau belum ada pertelaannya, maka bangunan tersebut belum berstatus rumah susun, tetapi masih calon rumah susun. Di sinilah PPPSRS Sementara memegang peran utama. Karena itu, kita harus konsisten dengan definisi rumah susun.
Hal lain yang juga sering diperdebatkan, adalah penafsiran “Pelaku Pembangunan memfasilitasi” pembentukan PPPSRS? Siapa yang membentuk PPPSRS? Di sini ada perbedaan penafsiran. Menurut Pasal 75, ayat 1, “Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir”.
Dalam penjelasannya dikatakan “Cukup jelas”. Ini kemudian diperdebatkan, sampai dimana lingkup “pelaku pembangunan memfasilitasi”? Apakah pelaku pembangunan hanya memberi uang dan tempat, kemudian pemilik yang mengadakan? Ini salah satu point yang harus dijelaskan/diatur lebih tegas dalam Peraturan Pemerintah Tentang Rumah Susun yang hingga kini tak kunjung terbit.
Menurut hemat saya, kata “pelaku pembangunan memfasilitasi” itu termasuk menjadi panitia Rapat Umum Pembentukan PPPSRS pertama kali. Mengapa harus pelaku pembangunan? Karena sesama pemilik tidak mempunyai hubungan hukum. Kalau dalam kawasan rumah susun ada 500 unit, muncul kelompok-kelompok pemilik yang membentuk panitia Rapat Umum Pembentukan PPPSRS. Lalu kelompok mana yang yang berwenang?
Kalau satu kelom-pok mengundang, belum tentu kelompok lain mau hadir. Begitu juga sebaliknya.
Pelaku pembangunan juga tidak boleh memberikan data pemilik kepada pihak sembarangan, karena rawan disalahgunakan, sebagaimana diatur dalam pasal kerahasiaan di PPJB. Apabila dikhawatirkan pelaku pembangunan melakukan rekayasa. Itu yang harus kita pikirkan bersama, bagaimana agar tidak direkayasa. Kita harus tahu apa penyakitnya dan apa obatnya?
Sebenarnya masih banyak pasal kontroversial dalam Undang-Undang No. 20/2011 tentang Rumah Susun. Untuk itu, kita semua berharap pemerintah (Kementerian PUPR) lebih cermat dalam menyusun peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut, agar para stakeholders rumah susun di Indonesia punya pe-gangan aturan yang tidak multitafsir, dan menimbulkan konflik dimana-mana.
Penulis: Erwin Kallo, Pakar Hukum Properti dan Pendiri erwinkallonews.com