Erwinkallonews.com – Seringkali dalam prakteknya banyak konsumen (pembeli apartemen) yang bertanya-tanya karena ketidaktahuan mereka apabila diperhadapkan pada kondisi satuan unit apartemen yang mereka beli telah selesai dibangun oleh pihak developer dan siap untuk diserahterimakan sedangkan di lain sisi konsumen tersebut belum melunasi apartemen yang mereka beli (masih dalam tahap cicilan).
Pertanyaannya legal dokumen apa saja yang dibutuhkan untuk melindungi baik konsumen maupun developer bila rencana serah terima tetap akan dilakukan sedangkan apartemen yang dibeli belum lunas?
Secara hukum terdapat 2 (dua) alternatif legal dokumen yang dapat digunakan bagi para calon pembeli apartemen yang belum lunas yakni antara membuat Addendum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atau Perjanjian Pinjam Pakai. Kelebihan dan kekurangan dari kedua legal dokumen tersebut antara lain: Penggunaan bentuk/format legal dokumen bisa apa saja, namun patut diingat bahwa bisa belum tentu benar dan aman, sehingga dalam menentukan pilihan tersebut wajib dipertimbangkan faktor Risk (risiko), Time (waktu) dan Cost (biaya), khusus bila terjadi hal yang terburuk yaitu bilamana calon pembeli wanprestasi dengan tidak melanjutkan pembayarannya;
Prinsip hukum dalam pengalihan properti adalah tunai dan tuntas, artinya pengalihan hak atas Unit APARTEMEN terjadi setelah lunas dan ditandatangani Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat akta tanah (PPAT), sehingga pemikiran bahwa dengan adanya PPJB calon pembeli telah memiliki sebahagian properti tersebut dan pihak Developer tidak berhak meminjamkan kepada pihak lain atau kepada calon pembeli tersebut adalah salah dan menyesatkan.
Bagi calon pembeli Unit APARTEMEN yang belum lunas dapat saja dilakukan serah terima dengan menggunakan format Perjanjian Pinjam Pakai dengan alasan:
- Para pihak dengan tegas mengakui bahwa Unit APARTEMEN tersebut masih merupakan milik Developer, artinya tidak ada perdebatan tentang kepemilikan (Ownership);
- Eksekusi/pengosongan atas Unit tersebut lebih efisien dan efektif jika terjadi wanprestasi, karena tidak perlu dikait-kaitkan dengan PPJB, yang penting Unit tersebut dikosongkan dahulu, urusan perselisihan tentang PPJB dapat dilokalisir kemudian;
- Cukup dibuat di bawah tangan (tanpa biaya Akta Notaris).
Bila menggunakan format addendum terhadap PPJB, maka dikhawatirkan atau kekurangannya adalah:
- Terdapat grey area atau perdebatan tentang kepemilikan, artinya dapat saja orang beranggapan bahwa Unit APARTEMEN tersebut telah menjadi milik calon pembeli yang bersangkutan hanya pembayarannya yang belum lunas, apalagi telah diserahterimakan, walaupun secara hukum hal tersebut keliru tetapi pendapat tersebut dapat saja digunakan sebagai dasar orang untuk mengajukan gugatan atas penguasaan properti tersebut, sehingga penyelesaian akan berlarut-larut;
- Eksekusi/pengosongan atas Unit tersebut tidak efisien dan efektif, karena berdasarkan PPJB penyelesaian masalah melalui tahapan tersendiri, apalagi jika calon pembeli yang wanprestasi tersebut mempermasalahkan kewajiban-kewajiban Developer yang tertera di dalam PPJB belum direalisasikan, sehingga terdapat bargaining position yang seimbang dalam kelalaian/wanprestasi masing-masing pihak;
- Mengingat PPJB dibuat dengan Akta Notaris, sehingga addendum sebaiknya dibuat dengan Akta Notaris pula agar kekuatan pembuktiannya konsisten, artinya untuk melakukan hal ini tentu akan mengeluarkan biaya;
Kekuatiran terhadap konsep/format pinjam pakai semestinya tidak perlu terlalu dirisaukan baik oleh konsumen maupun developer karena konsep/format pinjam pakai tersebut telah digunakan (teruji) para Developer terkemuka di Indonesia antara lain: Ciputra Group, Lippo Group, Pakuwon Group, Palazzo Group dan Bakrie Group.
Penulis: Muhammad Akram SH., MHum, Praktisi Hukum Properti